Untukmu....
Yang pernah bangga ketika aku pertama kali melihat dunia
Untukmu....
Yang menghancurkan harapan-harapanku
Untukmu....
Yang mrnghentikan mimpi-mimpiku
Maaf aku tidak sempurna
Maaf aku tidak bisa seperti mereka
Aku hanya ingin mencoba, apa yang belum pernah mereka coba
Mencoba tersenyum saat luka di hati semakin terlihat nyata
Mencoba tertawa meski tawaku hanya fana
Mencoba melangkah meski aku rapuh
Aku tidak peduli kegagalan
Karena aku tau gagal itu tidak bertahan selamanya
Yang selalu selamanya adalah mencoba
Maaf aku tidak bisa berhenti
Naluri hati nuraniku merindukannya
Ketika tanganku merangkai alfabet-alfabet itu menjadi rangkaikan kata yang memiliki makna
Berapa kalipun kalian mengunci pintu dan menutup jalan untukku
Aku akan tetap berjalan
Naluriku tau kemana aku harus melangkah
Maaf saat ini aku belum bisa menyentuh apa yang kalian mau
Tapi aku memohon...
Tentang impianku
Mimpiku layak diperjuangkan
Seperti kalian memintaku mewujudkan mimpi kalian
Yakinlah padaku di suatu hari di masa drpan nanti aku akan menggenggam apa yang kalian inginkan
Maaf.....
Aku tidak bisa menjadi orang lain
Inilah aku
Jati diri yang bersemayam di dasar nuranu
Senin, 16 Februari 2015
Secarik Surat Dariku
Jumat, 13 Februari 2015
Untuk Kalian yang Pernah Nyata
Awan mendung melapisi biru langit dan cerah mentari
Aku berhenti disini, di sebuah titik dimana ruang dan waktu membawaku
Gerbang ilusi terbuka, membuat bibir ini tak bisa berkata
Lalu takdir mempertemukan kau dan aku pada jembatan dimensi
Tapak kaki tak lagi menapak pada tanah yang sama
Kau dan aku adalah dunia yang saling berlawanan
Dimana kotor bagiku adalah bersih bagimu
Wajah-wajah penuh luka terbalut kain penuh darah
Tenggorokanku selalu tercekat saat ingin berteriak karena naluri ketakutanku
Lidahku kelu menatap kain-kain lusuh penuh robekan
Lama-lama aku mulai terbiasa dengan penglihatan yang tak nyaman
Jeritan-jeritan pada malam-malam yang sunyi terkadang membuat kepalaku sakit
Aku terusik
Kelemahanku membuat aku bahagia meski aku terlihat bodoh
Namun
Kelebihanku membuatku gila meski aku terlihat istimewa
Berbaur dengan mereka sama sekali bukan hal istimewa
Ini menakutkan
Bagaimana mungkin yang biasanya hanya melihat menjadi agresif dan pengusik
Kepalaku sakit, aku tercekik
Apa mau mereka? Mereka yang pernah nyata
Ya mereka selalu berkata 'kami pernah nyata'
Aku ingin berhenti dari sini
Dari dimensi waktu yang sangat berbeda
Aku menunggu keajaiban
Agar tak lagi menemui kalian 'yang pernah nyata'
Terimakasih telah membuat warna
Meski itu hanya ketakutan semata
Kalian memang pernah nyata
Aku percaya
Dan sekarang berhentilah
Jangan bawa aku lebih jauh
Terimakasih
Kalian yang pernah nyata
Sekeping Hati diantara 2 Cinta
"Setiap saat bersamamu seperti kebahagiaan tak bertepi, seperti sungai tak berujung, seperti laut tanpa batas. Dan akan kuberanikan diriku untuk itu, memilikimu tanpa komitmen, semoga kau suka."
***
Sebuah sepeda motor terparkir dengan rapi di sebuah sekolah elit di Jakarta. Seorang gadis mungil dan sahabatnya turun dari motor itu. Ya Alea Amirna dan Nino Fabian. Mereka sudah bersahabat sejak mereka kecil, apalagi rumah mereka juga bersebelahan.
"Ayo Le." Nino merangkul Lea menuju kelas. Sesampainya di kelas mereka duduk bersebelahan.
"Nino....." seorang gadis merangkul Nino dengan mesra. Namanya Rania Nindya, gadis berkulit putih yang menjadi pengagum terang-terangan Nino.
"Hai Ran, ada apa?" tanya Nino ramah.
"Ajarin gue bikin proposal lomba cheers dong No."
"Boleh, ntar aja kali ya pas balik sekolah. Emang mau gue ajarin dimana?"
"Di rumah gue aja gimana?"
"Boleh. Le ntar lo pulang sendiri ya? Gak papa kan?"
Alea hanya mengangguk. Tak berapa lama bel masuk pun berbunyi. Pelajaran pertama adalah bahasa indonesia. Materi untuk hari ini adalah puisi dan masing-masing siswa diharuskan membuat sebuah puisi dalam waktu 30 menit. Waktu 30 menit sangatlah cukul bagi mereka yang telah mengenal dan memahami puisi, namun bagi mereka yang tidak mengenal puisi 30 menit sama dengan satu tarikan nafas, sangat singkat.
"Okay anak-anak waktu kalian menulis puisi sudah selesai. Sekarang ibu akan memilih 2 orang, 1 laki-laki dan 1 perempuan untuk membacakan karya mereka. Baiklah karena ladies first maka ibu akan memilih.... Alea Amirna."
Yang dipanggil bukannya maju malah masih terpaku pada lamunannya. Nino melambaikan tangan di depan wajah Alea namun Alea tak terprngaruh. Terpaksa Nino mengguncang tubuh Alea agar ia sadar dari lamunannya.
"Apa sih No?" sewot Alea.
"Maju sana lo."
"Maju apaan sih."
"Alea Amirna ayo bacakan puisimu di drpan kelas."
"Eh...emm iya bu." Alea gugup karena belum satu kata pun ia tulis di bukunya. Alea mulai maju berdiri dan maju ke depan kelas.
"Kamu tidak membawa bukumu Alea?" tanya sang guru.
"Emm... Saya nulis puisi saya pakai hati bu makanya kata per kata yang saya tulis sudah melekat di pikiran saya." dalih Alea.
"Ya sudah terserah kamj saja, sekarang mulailah baca karyamu."
Alea menarik nafas panjang untuk menenangkan hatinya. Perlahan hati dan pikirannya bersatu membentuk untaian kata menjadi rangkaian kalimat menjadi sebuah puisi.
"Mentari tersenyum sendu
Rindu mengoyak kalbu
Luka menjelajah nurani
Bersama cinta yang telah pergi
Jejak terhapus ombak
Rasa tak bisa dirombak
Kemana cinta berkelana?
Saat tawa tak lagi nyata
Saat tangis membabi buta
Langit seterang kasih
Luas bukan samudra
Dimana wajah kedamaian?
Saat kasih tak lagi menyapa
Entah hilang atau pulang
Satu yakinku
Cinta sejati akan datang menyertaiku
Esok dan selamanya."
Terdengar riuh tepuk tangan dari semua yang ada di ruangan itu. Ada yang hingga meneteskan air mata terharu.
"Bagus Alea. Kalau boleh ibu tau apa judul puisi kamu?"
"Emmm esok dan selamanya bu."
"Ya sudah kamu boleh duduk."
"Terimakasih bu."
Alea kembali ke tempat duduknya dan menghela nafas lega.
"Okay selanjutnya satu murid laki-laki. Silakan Nino Fabian."
Dengan gugup Nino membawa buku bahasa Indonesianya dan berdiri di depan kelas.
"Wajah Cinta
Kubuka lembaran putih
Kertas gambar selayak kapas
Tinta menggores barisan putih
Cinta
Selaksa hitam mencinta putih
Lalu siang mencinta malam
Dua hal tak mungkin satu
Dan inilah wajah cinta
Saling mengasih tapi tak memiliki
Saling membenci namun mencinta
Dan disana keikhlasan berada
Merelakan cinta dalam wajah keabadian"
Kembali riuh tepuk tangan melanda ruangan kelas itu. Bel istirahat berbunyi dan para siswa berhamburan ke kantin. Nino pergi ke kantin bersama Rania, sedangkan Alea memilih untuk diam di dalam kelas.
Tak terasa bel pulang sudah berbunyi, bangunan besar sekolah memuntahkan isinya. Alea pulang sendiri, namun ia menyempatkan melewati area parkiran. Ia melihat dari jauh Rania yang dibonceng Nino. Rania memeluk Nino dengan mesra hingga motor Nino melaju. Tiba-tiba bulitan hangat membasahi pipi Alea. Ia mengusap buliran itu.
"Gue nangis? Gue nggak tau. Gue nggak tau apa yang gue rasain. Gue seneng lihat lo bahagia No, tapi gue nggak mau dan nggak rela lo jauh dari gue. Gue egois? Ya gue egois, tapi ini lebih dari sekedar egois, gue sayang lo Nino. Walau seperti yang lo bilang 'siang dan malam nggak mungkin menyatu walau hitam dan putih saling mencinta' maafin gue No, gue nggak bisa tepatin janji persahabatan kita. Maaf No." gumam Alea sembari menatap motor Nino yang semakin menjauh.
Sudah 3 minggu belakangan Alea selalu berangkat dan pulang sekolah sendiri. Nino seakan menjauh darinya, yang bahkan ia pun tak tau apa salahnya. Nino juga sekarang duduk bersama Rania. Alea semakin bingung dengan sikap Nino belakangan ini. Hari ini Alea sudah tidak tahan lagi dengan sikap Nino, ia pun mengirim pesan singkat kepada Nino.
To : Nino
Pulang sekolah bisa temui gw di taman sekolah?
From : Nino
Bisa, ad apa?
To : Nino
Ada yang perlu gw omongin
From : Nino
Okay. See u
Pelajaran demi pelajaran terasa sangat lama bagi Alea. Ia sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Nino. Dilihatnya Nino yang nampak santai-santai saja. Bel pulang berbunyi, semua siswa bersorak, namun hati Alea yang bersorak paling kencang. Alea menuju taman belakang, namun tiba-tiba ia kebelet dan langsung pergi ke toilet.
Setelah selesai ia keluar dan menuju taman sekolah. Ia berjalan dengan riang hingga ia melihat Nino sedang duduk di bangku panjang. Senyumnya makin mengembang, namun sedetik kemudian lengkungan bibirnya berubah saat melihat Rania ada disana. Alea mulai berjalan perlahan hingga ia sudah berada di belakang bangku pangang itu tanpa disadari oleh Nino dan Rania.
"Iya Nino aku mau, aku mau jadi pacar kamu." ucap Rania.
Ucapan Rania seperti petir yang merusak gendang telinga Alea. Ia berlari menjauh dari taman itu. Ia terus berlari sambil menangis, tangisnya tumpah berceceran di jalan yang ia lewati. Tangisnya pun seperti pemandu langit yang akhirnya menumpahkan airnya. Alea pulang dalam keadaan basah kuyup.
Sampai di rumah Alea segera mandi dan berganti baju. Ia menghempas tubuhnya di kasur empuknya menatap langit-langit kamarnya. Air mata kembali menetes dari sudut matanya. Ponselnya tiba-tiba berdering, sebuah pesan masuk dan Alea segera membukanya.
From : Nino
Kau dimana Le?
To : Nino
Maaf No, aku sakit dan tak bisa menemuimu
From : Nino
Kau sakit? Tunggu aku segera kesana.
30 menit setelah pesan itu Nino datang ke rumah Alea. Dilihatnya Alea sedang tertidur di ranjangnya. Nino meletakkan punggung tangannya di dahi Alea. Panas sekali dahinya ia benar-benar sakit. Nino membelai pipi Alea dengan lembut, Alea yang merasakan kehangatan belaian tangan Nino membuka matanya perlahan.
"Nino."
"Maaf gue bangunin lo."
"Nggak papa. Maaf bikin lo nunggu No."
"Nggak papa gue tadi ditemenin kok sama Rania."
"Rania?" tanya Alea kaget lebih tepatnya pura-pura tidak tau.
"Iya, dan lo tau apa?"
"Apa?"
"Kita jadian."
"Selamet ya No, gue seneng dengernya."
Mereka bercengkrama sebentar hingga hari semakin sore dan Nino harus pulang. Sehari, dua hari, satu minggu. Nino kembali mengacuhkan Alea. Alea kembali merasa kehilangan Ninonya sahabat kecilnya yang selalu disampingnya da melindunginya. Nino selalu lengket dengan Rania, hingga Alea menyadari sebuah hal.
Ini rasa takut yang lebih besar, rasa kehilangan yang amat dalam. Bukan sosok sahabat yang selalu melindungi. Bukan lagi sosok sahabat yang selalu membuat serpihan tangis menjadi tawa. Namun perasaan nyaman yang berakar dari hati dan terus tersiram dengan kasih sayang hingga tumbuhlah cinta.
Sore itu Nino baru pulang mengantarkan Rania. Ia melihat Alea sedang berada di teras rumahnya sedang melamun. Nino akhirnya berganti baju dan pergi ke rumah Alea. Namun ia tak melihat Alea si teras rumah, ia pun menuju kolam renang, tempat favorit lea di rumahnya.
"Hai Le." ucap Nino menepuk bahu Alea.
"Eh lo No." jawab Alea sambil mengusap kedua pipinya.
"Lo kenapa kok nangis? Lo sakit lagi ha?" tanya Nino khawatir sembari duduk dan mencelupkan kakinya ke air seperti Alea. Tanpa banyak bicara Alea hanya mengangguk. "Mana yang sakit ha? Mana?" Nino menempelkan punggung tangannya di dahi Alea yang ternyata suhunya normal.
"Hati gue yang sakit No." Alea mulai berkaca-kaca.
"Lo kenala Le?"
"Maafin gue No, gue nggak bisa." Alea mulai sesenggukan.
"Maksud lo apa?"
"Gue nggak bisa nahan ink lebih lama lagi. Ini terlalu sakit No, gue nggak bisa tanpa lo. Lo bahagia sama Rania itu kebahagiaan gue juga di luar tapi tanpa gue sadari luka hati gue semakin menganga saat lo sama dia No. Gue nggak mau kehilangan lo, setelah ini lo boleh benci gue atau apa pun itu, tapi seenggaknya gue lega No. Gue sayang lo, cinta sama lo. Gue cinta sama lo Nino, maafin gue udah langgar janji persahabatan kita untuk nggak saling jatuh cinta. Maafin gue No."
"Gue yang harusnya minta maaf Le. Beberapa minggu ini gue jauhin lo, nggak peduliin lo. Sebenernya itu menyiksa batin gue, tapi gue punya alasan, gue takut Le takut. Gue takut jatuh cinta sama lo dan langgar janji persahabatan kita. Akhirnya gue jadian sama Rania berharap rasa gue ke lo bakal ilang dan berpindah ke Rania, tapi kenyataannya berkata lain gue makin sayang sama lo Le, gue juga cinta sama lo."
Nino memeluk Alea dengan erat seperti tak ingin melepaskannya. Begitupun dengan Alea yang membalas pelukan Nino tak kalah erat. Air bening kolam renang seakan menjadi saksi bisu cinta mereka yang tidak mungkin menyatu karena ada Rania diantara mereka. Sekarang Nino dan Alea sudah mengetahui perasaan masing-masing dan mereka hanya menyimpannya untuk mereka sendiri.
Alea tetap membiarkan Nino dan Rania berpacaran. Alea dan Nino tak ingin menyakiti Rania. Nino pun berusaha memperlakukan Rania sebaik yang ia bisa. Ribuan kalinia mencoba mencintai Rania, namun hatinya selalu jatuh di tempat yang sama, Alea. Tapi Nino tak menyerah ia selalu mencoba menghargai pengorbanan Rania.
***
Aku bukan yang sempurna, aku hanya mencoba menghargainya. Mencoba mencintai dia seperti dia mencintai aku. Walau aku tidak bisa, hatiku selalu jatuh di tempat yang sama lalu mencintanya, Alea. Aku mencintai dia tanpa kenal perbedaan, tanpa kenal waktu, dan batas. Aku mencintai dia dengan caraku meski aku bersama orang lain saat ini, namun aku yakin dibalik kisah cinta rumit ini Tuhan telah merencanakan sesuatu dengan takdirnya.
-Nino-
***
Aku punya satu hati untuk merasakan cinta. Cinta kepada seorang lelaki, ya hanya seorang. Bagiku tidak penting berapa banyak hati yang mencintaiku, karena yang terpenting aku mencintai satu hati. Aku mencintainya dengan caraku, tanpa komitmen, namun mengikat antara hatiku dan hatinya. Aku tidak peduli, karena seseorang telah berkata 'jika dia jodohmu maka Tuhan akan mempertemukan kalian dengan cara yang luar biasa karena itu jangan pernah menyerah pada cinta' aku tidak menyerah pada cintaku untuk Nino, aku hanya berjuang dengan caraku, menunggunya. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan, karena cinta ini juga tidak berbatas.
-Alea-
***
Aku tersadar telah menjadi manusia jahat selama ini. Memisahkan dua cinta sejati yang saling menyertai dengan menjadi sebuah hati diantara keduanya. Kini mataku terbuka untuk melihat, telingaku telah mendengar bagaimana cinta mereka. Cinta abadinhang saling mengikat tanla komitmen, karena takdir yang telah menyuratkan mereka. Aku yakin takdir juga telah menyuratkan aku pada seseorang yang telah menungguku untuk menjadi bagian utuh dan berteduh pada satu atap yang sama. Pada akhirnya aku melepas Nino agar ia bahagia bersama cintanya Alea.
-Rania-