Sabtu, 14 Maret 2015

08:08

Prilly, seorang gadis cantik berkulit putih dan berparas cantik sedang duduk di teras rumahnya. Ia memandang ke arah taman di hadapannya. Menikmati udara sore yang menyejukkan hatinya. Ia tersenyum simpul membayangkan sesuatu.

"Ly."

"Ada apa?"

"Aku ada sesuatu buat kamu."

"Apa?"

"Tutup mata dulu ya."

"Kenapa harus tutup mata?"

"Ayo lah Ly."

"Iya deh iya, Aliandra Novrian paling bisa deh kalo masalah maksa memaksa. Tutup mata nih."

Prilly menutup matanya sedangkan Ali menuntunnya ke sebuah tempat yang tak ia tau. Mereka telah sampai, di sebuah danau yang sangat indah. Prilly terkagum-kagum melihat pemandangan di hadapannya. Ali menghadapkan tubuh Prilly ke padanya. Ia meraih kedua tangan gadis itu.

"Aprillya Jenita. Di bawah langit sore ini dan berlatarkan danau yang indah ini, aku Aliandra Novrian, memintamu untuk menjadi bagian dariku, dari hidupku. Apakah kamu mau menjadi kekasihku?"

Prilly terkaget akan kelakuan Ali barusan. Apa dia tidak salah dengar? Atau ia hanya sedang bermimpi? Ah lupakan! Apapun itu nyata atau mimpi dia akan lakukan yang gerbaik.

"Aliandra Novrian. Terimakasih sudah memintaku menjadi kekasihmu, tapi aku tidak bisa." ucapnya sambil menunduk. Ali melepas genggaman tangannya pada tangan gadis itu dan membalikkan badannya. Saat ia akan melangkah ada tangan mungil yang sudah melingkar di tubuhnya. "Aku tidak bisa menolakmu, karena aku juga mencintaimu."

Ali membalikkan badannya dan mengecup dahi Prilly dengan lembut.

Drrtt....drrrrtt.... Getaran pada hanphonenya membuatnya tersadar dari lamunanya.

"Hallo, honey."

"Hai sayang."

"Ada apa?"

"Kamu lagi ngapain?"

"Nih lagi nyantai di teras, kamu sendiri lagi apa?"

"Aku lagi mempersiapkan sesuatu. Jangan bilang kamu lupa soal janji kita nanti malam."

"Iya honey aku inget kok."

"Oh iya satu lagi, kamu langsung ke taman aja ya nanti."

"Loh kenapa kamu nggak jemput aku aja?"

"Aku ada sesuatu buat kamu, ya udah kamu siap-siap gih. Bye sayang love you."

"Love you too honey."

Prilly kembali ke kamarnya, ia sibuk mencari baju yang akan ia pakai. Astaga! Baju yang ada di lemarinya sudah dia keluarkan, tapi kenapa ia merasa tidak ada yang cocok. Ia mengacak rambutnya, kenapa tidak dari tadi saja memilih baju. Sekarang ia jadi bingung sendiri. Ah sudahlah, tidak ada waktu lagi, jam 8 nanti ia akan menemui Ali untuk merayakan first aniversarynya.

Prilly meraih dress hitam selutut dengan lengan panjang. Ia memakainya, sangat serasi dengan kulit putihnya. Ia merapikan rambutnya, memoleskan sedikit make up. Perfect! Ia memakai hills berhak 6 senti dan meraih tas yang menggantung di belakang pintu kamarnya. Siap!

Prilly berpamitan kepada orang tuanya dan melangkah keluar rumah. Ia menumpangi taksi blue bird sampai di taman. Ia berjalan menuju bangku putih di tengah taman. Ia duduk disana dan melihat ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Baru jam 19.30. Sepertinya ia terlalu bersemangat. Drrrt....drrrtt.... Ponselnya kembali bergetar, ia langsung mengambil benda persegi panjang itu dari tasnya.

"Hallo honey!"

"Hai sayang. Sayang kamu udah siap? Udah cantik belum?"

"Honey aku udah ada di taman nih saking semangatnya."

"Oh okey, aku on the way. Bye sayang love you."

"Love you too."

Prilly tersenyum kecil setelah mengangkat telfon dari Ali. Rasanya sudah tidak sabar apa yang akan dilakukan Ali pada first aniversary mereka. Jantung Prilly berdebar lebih cepat, rasanya ingin sekali berteriak sekarang. Dia terlalu gembira, meski Ali belum datang. Drrt...drrrt... Ponselnya bergetar, lagi. Dan ia mengangkatnya, lagi.

"Hallo sayang!"

"Iya honey."

"Sayang aku kejebak macet nih, kayaknya aku telat sampai sana deh."

"Yah, kok telat sih." ungkap Prilly dengan nada kecewa. "Tapi nggak papa deh aku nunggu kamu, kan ini first aniversary kita."

"Ya udah tunggu aku ya. Bye sayang love you."

"Love you too honey."

Tidak papa ia akan menunggu Alinya. Selama ia berpacaran dengan Ali, pasti selalu Ali yang menunggunya. Menunggu untuk apapun. Ia melihat ke arah langit banyak sekali bintang yang bertabur disana. Ia melihat ke arah bintang yang paling terang diantara bintang yang lain, sedetik kemudian bintang itu jatuh bersamaan dengan ponselnya yang bergetar.

"Hallo sayang!"

"Iya honey ada apa?"

"Sayang aku telat banget nih, kamu boleh pulang dulu biar nanti kita rayain aniversary kita di rumah kamu aja."

"Nggak usah honey, aku tetep nungguin kamu kok."

"Ya udah, kalau gitu maafin aku ya aku telat."

"Iya honey. Hati-hati ya kamu, bye. Love you."

"Love you more."

Rasanya sudah sangat lama Prilly menunggu, tapi Ali belum datang juga. Ia coba menghubungi nomor ponsel Ali, namun tidak aktif. Prilly mulai mondar-mandir tidak karuan di depan bangku yang ia duduki tadi. Apa jangan-jangan? Ah tidak-tidak, sekarang bukan waktunya negative thinking. Prilly duduk dengan gusar, ia tutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Maaf aku telat." suara berat seseorang yang tak lain adalah Ali yang sudah berada disampingnya.

"Honey?" Prilly langsung memeluk laki-laki yang ia cintai itu. "Kamu kemana aja aku khawatir tau nggak?" ucap Prilly setelah melepas pelukannya.

"Maaf aku terlambat hari ini." ucapnya dingin.

"Ada apa dengan dia? Kenapa dia berubah? Tidak seperti biasanya." batin Prilly.

"Aprillya Jenita, kamu kenapa bengong?" Ali melambaikan tangannya di depan wajah Prilly, namun Prilly hanya menggeleng. "Aprillya Jenita? Kenapa dia memanggilku begitu? Bukankah 'sayang' saja sudah cukup?" batinnya lagi.

"Aku mau kamu janji sesuatu sama aku."

"Apa?" tanya Prilly penasaran.

"Kamu harus selalu bahagia untuk alasan apapun."

"Baik aku janji." jawab Prilly datar meskipun aebenarnya ada yangmengganjal di benaknya. "Oh iya tadi kamu bilang mau memberikan sesuatu padaku?"

"Astaga maaf aku lupa." Ali merogoh sakunya dan taraaa....... Sebuah kalung dengan liontin di dalamnya ada foto Ali dan Prilly. Prilly diam tak berkutik ia sangat terpana pada benda di tangan Ali itu. "Hari ini tanggal 8 bulan 8, setahun yang lalu lita telah mengikat janji sebagai sepasang kekasih, dan aku memberikan kalung ini teapt pada jam 8 lebih 8 semoga hubungan kita seperti angka 8 yang tak pernah putus. Boleh aku pakein kalungnya?" Prilly mengangguk. Ali memakaikan kalung itu di leher jenjang Prilly.

"Makasih honey udah mencintaiku dengan sabar, semoga kita langgeng seperti angka 8, happy aniversary." komentarnya.

"Kamu terlihat lebih cantik sayang, tapi...."

"Tapi apa?"

"Akan lebih cantik jika kamu tidak menangis."

"Hei aku nggak nangis kok honey, aku cuman terharu aja." Prilly menangkupkan kedua tangannya di pipi Ali. "Tunggu, wajah kamu kok pucet banget gitu? Pipi kamu juga dingin banget. Kamu sakit?"

"Aku nggak papa kok sayang."

"Yakin kamu nggak papa?"

"Aku nggak akan kenapa-kenapa selama kamu nggak nangis."

"Honey..." Prilly memeluk Ali erat. Ada sesuatu yang beda yang ia rasakan. Entah ini hanya perasaanya saja atau bagaimana. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan ini. Pelukannya dengan Ali terasa sangat aneh, sangat asing. Drrt....drrrrt.... Ponsel Prilly tiba-tiba berdering. "Sebentar ya honey." Prilly berdiri dan mengangkat telfon.

"Hallo!"

"Ha..ha..loo..." ucap seseorang di seberang telfon dengan sesenggukan.

"Kak Mila? Kak Mila kenapa?" tanya Prilly kepada Mila, yang taknlain adalah kakak Ali.

"Ali Prill, Ali....."

"Ali kenapa kak?"

"Ali.... Ali meninggal."

"A...apa..? Nggak... Nggak ini nggak mungkin Ali lagi sama aku kak nggak mungkin Ali meninggal."

"Honey...honey....kamu disini kan honey..." Prilly mengelilingi taman, namun ia tak menemukan Ali. Dengan kalap ia berlari ke rumah sakit yang di beritahukan oleh Mila. "Saat menuju taman tempat kalian janjian, Ali mengalami kecelakaan dan dia segera dibawa ke rumah sakit terdekat, namun sayang itu terlambat. Ali meninggal tepat pukul 08:08."

Prilly berlari sambil menggenggam liontin yang tadi diberikan Ali. "Ini nggak mungkin, semuanya pasti salah. Ali nggak mungkin meninggal." batinnya meronta. Prilly melewati lorong-lorong rumah sakit seperti kesetanan. Ia bahkan tak merasakan jika nafasnya mulai habis. Mila yang melihat keadaan Prilly sangat kacau segera memeluknya erat. Seluruh tubuh Prilly terasa lemas. Seorang dokter keluar dari balik pintu yang ada di hadapan mereka saat ini.

"Nona Prilly." panggil dokter itu.

"Ss...ssa... Ya... Saya Prilly." ucap Prilly gugup.

Tanpa kata dokter itu memberikan sebuah boneka beruang bear berwarna coklat. "Apa ini dok?" tanya Prilly penasaran. "Tuan Ali ingin memberikan boneka ini pada nona Prilly."

"Ss... Sekarang Ali dimana dok?"

"Maaf nona.."

Sebelum dokter itu sempat melanjutkan perkataannya Prilly sudah menerobos masuk. Dilihatnya tubuh seseorang terbujur kaku, wajahnya sudah ditutup kain putih. Siapa dia? Prilly mendekat, dengan perlahan tangannya menyibakkan kain yang menutupi wajah itu. "Tidak...ini tidak mungkin." teriak Prilly saat mendapati Ali dengan wajah pucatnya. "Ali bangun Li bangun. Jangan tinggalin aku kaya gini Li, bangun." Prilly mengguncang-guncang tubuh Ali, namun nihil Ali telah pergi untuk selamanya. Mila yang tak tega melihat Prilly akhirnya masuk dan memeluk tubuh mungil gadis itu. "Nggak...nggakk... Ini nggak mungkin.. Nggak mungkin."

Prilly meronta dan melepaskan pelukan Mila. Ia berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Ia berhenti di dekat sebuah tiang, ia sandarkan tubuh mungilnya. Perlahan memelorotkan tubuhnya. Ia perhatikan rupa dari boneka beruang yang ada dihadapannya. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu seperti sebuah tombol.

"Hai sayang! Happy first aniversary. Ini kado spesial dari aku, jaga dia baik-baik ya. Belakangan ini aku sering sekali bermimpi aku kehilangan kamu, makanya aku mengirim boneka ini agar selalu bisa menemanimu sayang. Aku tidak tau mimpi itu ada artinya atau sekedar bunga tidur, yang pasti aku hanya ingin bilang sama kamu. Aprillya Jenita, I love you yesterday, I love you today, and I love you forever. Happy first aniversary, I love you." Rekaman itu selesai dan Prilly memeluk memeluk boneka itu erat sambil terus meneteskan air matanya.

---THE END---

Thankiss for reading
See you next story
*Zeetata*

From Hello to Goodbye

Laki-laki bertubuh atletis itu menyandarkan bandannya diantara pintu balkon kamarnya. Ia menerawang kosong ke arah langit. Wajah sayu berpadu dengan bibir pucatnya membuatnya terlihat seperti mayat hidup, namun ia masih terlihat tampan. Tes.... Setitik merah jatuh tepat di punggung tangannya. Astaga, darah lagi. Kenapa darah begitu menganggunya, apapun yang ia lakukan apapun yang ia pikirkan selalu saja ada darah dari hidungnya.

Tiba-tiba alarm jam tangannya berbunyi. Yup, waktunya minum obat. Astaga! Ia bahkan baru ingat 2 tahun terakhir ia selalu bergantung pada butiran benda itu. Obat. Ia menenggak obatnya, walaupun terkadang ada rasa kesal disana. Apa mungkin obat-obatan itu yang akan menemaninya sampai akhir hidupnya nanti? Dia duduk di ujung ranjang setelah meminum obatnya. Kriiiinngg.... Astaga! Berisik sekali suara telfon di kamarnya itu. Dengan kasar ia mengangkat gagang telfon.

"Hallo!" ujarnya dengan malas.

"Hallo mas Digo Arthanama?"

"Iya saya sendiri."

"Maaf mas, kami dari pihak rumah sakit sekedar ingin mengingatkan hari ini mas Digo harus menjalani kemoterapi kedua."

"Hah, baiklah suster saya segera kesana."

Ia meraih jaket hitam yang tergantung di belakang pintu. Merogoh sakunya dan yup kunci mobil, ia segera menuju rumah sakit. Leukimia, penyakit terkutuk itu menghantui hidupnya selama 2 tahun belakangan ini. Kenapa Tuhan senang sekali menyiksanya? Bukankah lebih baik jika ia mati karena kecelakaan dan tidak perlu menahan sakit yang demikian?

Dia sampai di rumah sakit dan menemui seorang dokter. Dokter itupun segera membawanya ke ruangan dimana ia akan menjalani kemoterapi keduanya. Semua alat kini sudah terpasang di tubuhnya yang sudah terbaring di atas brangkar. Dokterpun meninggalkannya di ruang itu. Sakit? Ya kata orang kemoterapi itu sakit, tapi seorang Digo bahkan sudah lupa dengan srsuatu yang bernama 'sakit' itu. Sebenarnya hidup atau mati baginya tidak masalah. Toh dia hanya sebatang kara di dunia ini, tapi entah mengapa ada sebuah keinginan yang memaksanya untuk hidup setidaknya 1 jam lebih lama dari ketentuan Tuhan.

"Hai!" sapa suara lembut seorang gadis yang juga terbaring lemah dengan alat-alat yang terpasang pada tubuhnya. Digo hanya diam memperhatikan gadis itu. "Apa dia juga melakukan kemoterapi? Tapi kenapa dia malah tersenyum seperti itu seperti terlihat bahagia?"

"Kenalin namaku Sisi Merlina. Siapa namamu?"

"Digo Arthanama." Astaga! Kenapa ia malah mau bicara dengan gadis itu? Entahlah gadis itu seperti magnet yang menarik mulutnya untuk bicara padanya.

"Aku terkena leukimia dan ini kemoterapi pertamaku. Kalau kau?"

"Ya, leukimia, kemo kedua." jawabnya dingin.

"Kau sudah dua kali melakukan kemo, bagimana rasanya?" tanya Sisi antusias.

"Kau rasakan saja sendiri."

Kemoterapi itu selesai. Digo berjalan meninggalkan rumah sakit dengan langkah terhuyung. Ia selalu merasa ia kuat dan tak butuh bantuan siapapun, tapi kali ini berbeda. Bruuk... Tiba-tiba saja langkah kakinya tak teratur dan dia terjatuh di lantai. "Sial, kenapa mesti jatuh segala." rutuknya dalam hati.

"Hai, kau tidak apa-apa Digo?" ucap seorang gadis yang duduk di kursi roda. "Dia lagi." batin Digo. "Digo, kenapa kau diam? Kau kenapa?"

"Tidak." ujarnya sambil mencoba berdiri dengan bersusah payah.

"Kenapa kau memaksa jalan seperti itu, kau masih lemah Digo. Dimana keluargamu?"

"Keluarga? Siapa yang dia sebut keluarga? Memangnya dia pikir aku punya keluarga?" batinnya. "Digo! Hei!" Sisi melambaikan tangan di depan wajah Digo. "Ada apa?" tanyanya datar.

"Dimana keluargamu?"

"Kau sendiri?" ia malah bertanya balik pada Sisi.

"Ibu dan ayahku sedang berbincang dengan dokter."

"Oh."

"Digo kau belum menjawab pertanyaanku."

"Apa?"

"Dimana keluargamu?"

"Tidak tau."

"Ini serius Digo."

"Aku juga serius Sisi."

"Jadi...."

"Aku tidak punya keluarga."

"Kalau begitu bagaimana jika kita berteman?"

"Teman?"

"Iya berteman."

"Baiklah." Sisi mengulurkan tangannya. "Apa?"

"Tanda pertemanan." mereka berjabat tangan.

Semenjak pertemuannya dengan Sisi, Digo seperti memiliki harapan baru. Gadis itu, gadis mungil dengan hiasan tawa meski ia terluka. Gadis itu seperti seorang malaikat yang menyadarkannya, leukimia bukanlah hal mengerikan yang akan menghancurkan harapannya. Leukimia hanyalah kado dari Tuhan, karena Tuhan tau mereka kuat menjalani hidup bersama leukimia.

Hari ini ia kembali akan menjalani kemoterapi. Kemo ketiga untuknya berarti kemo kedua untuk Sisi. Terjadwalkan ada enam kemoterapi yang harus ia dan Sisi jalani. Kebetulan jadwal kemoterapi mereka memang bersamaan dan juga di ruangan yang sama.

"Digo... Hai Digo..." panggil Sisi setengah berbisik saat mereka sama-sama menjalani kemoterapi. Digo yang semula memejamkan matanya dengan berat hati membukanya, karena suara berisik gadis di brangkar sebelah. Digo hanya menatap tajam ke arah Sisi. "Digo, bagaimana jika kita berlomba." Mendengar perkataan Sisi, Digo hanya menautkan kedua alisnya. "Iya kita berlomba, siapapun yang bertahan lebih lama di dunia ini, dia pemenangnya."

"Ah apa-apaan kau ini. Kematian kita sudah tertulis di buku catatan malaikat, lalu untuk apa kita berlomba? Ha? Kau pikir sekuat apa dirimu itu? Bertahan sekuat apapun jika Tuhan menginginkan kau mati, kau juga akan tetap mati Sisi."

"Hai Digo. Ayolah, bangkit sedikit, kita sama-sama kena leukimia dan aku nggak mau kamu kehilangan harapan cuma karena hal ini. Jadi berjanjilah padaku kita akan melakukan perlombaan ini."

"Ah baiklah terserah kau saja."

Sisi. Gadis ini memang sangat keras kepala, tapi juga lembut. Entah kenapa Digo selalu menuruti keinginannya. Seperti ada sebuah hal yang mengharuskan Digo menuruti apa yang Sisi mau. Tapi ia tak pernah menemukan alasan apapun pada dirinya. Apa mungkin karena Sisi adalah orang pertama yang mengajaknya berteman setelah selama ini dunia selalu menjauhinya? Entahlah.

Semenjak kemoterapi ketiga, Digo dan Sisi menjadi sangat dekat. Digo pun mulai bisa tersenyum sekarang, kadang juga tertawa melihat kekonyolan gadis yang belakangan ini selalu ada bersamanya.

"Melihat kamu tertawa lepas seperti itu rasnya sama, dengan menghilangkan beban terberat dalam hidup aku. Kamu seperti medan magnet yang memaksaku untuk menarik senyum simpul pada bibirmu itu. Setelah ini, aku siap untuk semuanya, mati sekalipun. Karena aku sudah berhasil membuat seseorang tertawa karena aku, jika aku mati setelah ini, aku akan tersenyum, karena setidaknya aku pernah berguna untuk orang lain." batin Sisi saat ia dan Digo sedang menikmati sunset di sekitar taman.

"Aku belum pernah merasa senyaman ini di dekat siapapun. Hanya kamu, makhluk ciptaan Tuhan yang entah berasal dari belahan bumi bagian mana. Aku belajar banyak tentang hidup darimu, meskipun kamu lebih muda daripada aku. Aku juga baru mengerti tersenyum adalah cara paling sederhana untuk bahagia. Setidakmya senyuman kita berharga untuk orang lain, disaat kita tau kapanpun malaikat bisa menuntun kita kembali pada Tuhan." batin Digo sambil memperhatikan sunset.

"Digo..." panggil Sisi yang hanya di balas deheman oleh Digo. "Apakah kau pernah jatuh cinta?" tanyanya tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Tidak papa sih. Aku hanya ingin bertanya saja, apa kau pernah jatuh cinta?"

"Hmmm." Digo mengusap dagunya. "Belum. Memangnya kau pernah?"

"Belum juga sih." Sisi menyandarkan kepalanya pada pundak Digo. "Bagaimana ya rasanya jatuh cinta?"

"Mana aku tau Sisi, aku juga belum pernah merasakannya."

"Digo, apakah hidup kita akan berakhir tanpa mengenal sesuatu yang bernama 'jatuh cinta' itu yang orang-orang bilang itu indah?"

"Entahlah Sisi."

"Aku ingin merasakan jatuh cinta, memiliki pacar, melakukan hal-hal romantis seperti yang orang-orang normal lakukan."

"Ah, kau benar Sisi. Aku juga menginginkan itu, paling tidak aku pernah mengenal cinta sebelum aku mati."

"Digo bagaimana jika...."

"Apa?"

"Bagaimana jika kita pura-pura saling jatuh cinta, pura-pura berpacaran, dan pura-pura melalukan hal romantis."

"Kita?"

"Iya kita."

"Tapi Si...."

"Ayolah Digo, bukankah keinginan kita sama?"

"Tapi sampai kapan kita melakukan ini?"

"Emm.." Sisi mengusap dagunya, berpikir. "Sampai kita lupa kalau kita sedang berpura-pura."

Semburat cahaya mentari menyeruak masuk melewati horden kamar Digo. Nyayian burung-burung pembakit tidurpun sudah sangat merdu. Aroma pagi yang nikmat. Namun Digo masih membungkus dirinya dengan selimut. Tiba-tiba ponselnya berdering. Berisik! Ini hal yang paling tidak Digo sukai, apapun yang mengganggunya.

"Hallo!" ucapnya malas.

"Pagi pacar." sapa seseorang di ujung sana. "Hah? Pacar?!! Sejak kapan???!!" Astaga dia lupa, bukankah ia memang punya pacar? "Kamu pasti baru bangun ya? Mandi gih."

"Iya pacar ntar dulu, 5 menit deh nyawaku belum kumpul nih."

"Pacar memangnya kamu lupa apa hari ini kemo keempat kamu."

"Astaga pacar! Aku lupa, kalau gitu aku siap-suap dulu deh."

"Bye pacar. Love you."

"Love you too."

Okay sekarang mereka terlihat seperti tidak berpura-pura pacaran, tapi sudahlah. Mereka kembali harus berhadapan dengan ruangan kemoterapi. Ya, kadang mereka muntah-muntah dan juga mengalami gejala lain setelah kemo, tapi itulah mereka, tak mengeluh. Selama kemo Digo memilih memejamkan matanya, sedangkan Sisi ia sibuk memperhatikan wajah tampan Digo yang nampak dari samping.

"Digo! Apakah menurutmu Tuhan akan benar-benar memperkenalkan kita pada cinta?" ucap Sisi, namun gak ditanggapi oleh Digo.

Kemoterapi keempat bagi Digo telah usai. Setelah beberapa hari mereka istirahat dan merasa kuat, mereka mulai menjalani hari-hari mereka. Hari-hari berpura-pura jatuh cinta. Mereka bahkan jalan-jalan ke mall, belanja, nonton, sampai candle light dinnerpun mereka lakukan. Romantus bukan? Dan dari semua bagian itu orang-orang yang melihatnya tak akan pernah percaya jika mereka hanya berpura-pura.

Hari ini adalah kemoterapi kelima untuk Digo dan keempat untuk Sisi. Semua peralatan sudah siap, selang-selang telah dipasang ditubuhnya. Ia terbaring di atas brangkar. Ia menengok ke brangkar di sampingnya. Tidak ada! Dimana Digonya? Apa ia lupa bahwa ini adalah hari kemoterapi? Sisi mencoba menghubunginya, namun tak ada jawaban.

Beberapa lama kemudian akhirnya kemoterapi keempatnya selesai. Seperti biasa suster membantunya duduk di kursi roda. Orang tua Sisi menunggunya di luar ruang kemo. Tapi tetap masih ada yang mengganjal dihati dan pikirannya.

"Suster." panggil Sisi saat suster akan mendorong kursi rodanya.

"Iya, ada yang bisa saya bantu mbak Sisi?"

"Pasien yang sering kemo bareng saya dimana ya?"

"Maksud mbak Sisi, mas Digo?" tanya suster itu.

"Iya sus, Digo dimana? Apa dia lupa kalau hari ini kemo?"

"Mbak Sisi, mas Digo sudah meninggal seminggu yang lalu, mas Digo juga menitipkan ini pada mbak Sisi." suster itu memberikan sebuah amplop berwarna merah muda.

Tes.. Tanpa terasa air matanya mengucur deras. Kenapa ia menangis? Apakah ia merasa kehilangan Digo? Ya dia kehilangan Digo. Tapi ini rasa kehilangan yang lebih besar, lebih besar daripada kehilangan seorang teman. Entahlah! Ia merasa sangat sedih sekarang.

***

Ditemani ibunya, Sisi memasuki sebuah area pemakaman. Ia masih duduk di kursi roda, dan kini ia sudah berada di hadapan sebuah makam. Tanahnya masih merah, walau tak banyak bunga bertabur disana. Di bawah sana seseorang telah tertidur pulas untuk selamanya. Digo Arthanama. Sisi menaburkan bunga di atas makam yang masih baru itu.

Dear : Sisi Merlina

Si, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah tidak ada lagi. Mungkin setelah membaca surat ini kamu akan kecewa kepadaku. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Hari ini aku merasa sangat lelah Si, aku merasakan malaikat maut sangat dekat dengan tempatku berada saat ini. Dia sangat dekat, tapi percayalah aku tidak takut mati.

Si, kamu tau alasan kenapa aku tidak takut mati? Ya, aku sudah mengalami semuanya dalam hodup, bersama kamu. Aku pernah jatuh cinta Si. Jatuh cinta kepada seorang gadis yang membawa harapan baru untuk hidupku. Gadis sederhana yang mengajarkan banyak hal tentang hidup kepadaku. Gadis itu adalah kamu Si. Iya aku baru sadar sekarang, aku jatuh cinta padamu sebelum aku ingin, sebelum aku mengenal cinta. Karena cinta itu ada ketika kau menyapaku, menanyakan namaku, dan menjadikanku temanmu. Aku rasa disanalah cinta itu menyesap.

Si, inilah takdir. Aku harus pergi, dan kamu masih tetap disana. Jangan menangis Sisi sayang. Aku sudah bahagia disini, dan jika kamu menangis, maka aku akan ikut bersedih, jadi tersenyumlah untukku. Sisi, kini Tuhan telah memberikan jawaban pada perlombaan kita. Kita sama-sama menang Sisi sayang. Kamu memenangkan dunia dan aku menang melegakan rinduku untuk bertemu dengan Tuhan. Sisi, jaga diri baik-baik ya sayang, jangan pernah kehilangan harapan.

Dengan cinta tulus sepenuh hati

Digo Arthanama.

Sisi mengusap nisan Digo dengan lembut, lalu mengecupnya sejenak. Ia merasakan betul bahwa Digo masih disana, melihatnya yang duduk dinkursi roda.

"Digo... Tetimakasih pernah ada dalam kehidupanku. Menjadi bagian dari hati yang tak akan mungkin terlupakan. Kamu tau Digo? Sebenarnya aku tidak berpura-pura mencintaimu, aku benar-benar mencintaimu. Maaf aku tidak berani jujur padamu waktu itu, maka aku mengajukan permintaan berpura-pura jatuh cinta. Sangat konyol bukan? Tapi itulah, aku tidak bisa berpura-pura tidak mencintai kamu. Terimakasih untuk cintamu Digo, aku akan tetap mencintai kamu sampai Tuhan mempertemukan kita di kehidupan lain. Beristirahatlah dengan membawa kebahagiaan atas nama cinta kita dan disini aku juga akan melakukannya. Aku mencintai kamu Digo Arthanama."

---THE END---

Sabtu, 07 Maret 2015

Gadis Hujan

~Gadis Hujan~
Author : Anita Noviyanti | Zeetata

*___*

Seorang gadis bertubuh mungil berjalan cepat di bawah guyuran gerimis. Hillsnya yang berhak 7 senti itu membuatnya susah berjalan hingga akhirnya ia terjatuh di tepian jalan. Parsel yang ia bawa akhirnya berantakan kemana-mana. Pemuda tampan yang baru saja turun dari mobil melihat peristiwa itu. Dengan sigap ia membantu gadis mungil yang tengah memunguti parselnya.

"Terimakasih." ucapnya dengan senyum termanis yang ia punya.

"Sama-sama." Gadis itu mulai melangkah meninggalkan sang pemuda. "Hai tunggu!" ucapan sang pemuda membuat gadis itu berhenti dan membalikkan badannya. "Ini." pemuda tampan itu memberikan payung yang berada di tangannya kepada sang gadis. "Jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit."

"Sekali lagi terimakasih." ujar gadis itu sembari menerima payung dan mulai berjalan menjauh.

Maghali Hendra Ardian, orang-orang biasa memanggilnya Ali. Pemuda itu kembali teringat pada pertemuannya dengan seorang gadis yang mampu menarik rasa penasarannya. Ia gelisah setiap hari memikirkan gadis itu. Mata beriris coklatnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, rambut panjangnya, kulit putihnya, tubuh mungilnya. Astaga kenapa ia sangat merindukan gadis itu? Lagipula ini salahnya sendiri bukan? Kemarin tidak sempat menanyakan siapa namanya. Akhirnya dengan seenaknya ia memanggil nama gadis itu adalah 'gadis hujan'.

1 bulan telah berlalu, namun gadis itu masih memenuhi pikiran Ali. Walaupun sampai detik ini ia tak pernah lagi bertemu dengan gadis itu. Mungkin ini sudah saatnya ia melupakan gadis itu, karena besok ia akan dipindahtugaskan ke Bandung. Itu sama artinya dengan 'ia tak akan pernah menemukan lagi gadis mungil beriris coklat yang selalu mengusik pikirannya sampai saat ini'.

Kini ia sudah mulai bekerja di Bandung, disana ia menghabiskan waktunya untuk bekerja... Bekerja... Dan bekerja. Hanya itu yang mampu mengalihkan perhatiannya dari gadis hujannya. Hari ini ia akan memiliki sekretaris baru untuk membantu tugas-tugasnya. Rasanya malas sekali akan memiliki sekretaris, seperti tidak bebas. Tok...tok...tok...

"Masuk." perintahnya.

Seorang gadis dengan rambut tergerai rapi memakai kemeja krem dengan perpaduan rok span hitam selutut, sepatu kantor berwarna hitam dan tas tangan dengan warna senada memasuki ruangan Ali. Mata Ali tak berkedip untuk beberapa saat, tenggorokannya mendadak kering, dan jantungnya serasa ingin melompat dari tempatnya. Hingga akhirnya ia tersadar saat gadis itu sudah duduk di hadapannya.

"Namamu Jenifer Prillyanz?"

"Iya tuan Ali."

"Baiklah nona Jen, kita bisa mulai bekerja sama sekarang." ujarnya penuh wibawa.

Ternyata gadis itu yang memenuhi pikiran Ali beberapa bulan ini. Ya Jenifer Prillyanz itulah nama gadis hujannya. Di sudut hatinya ia merasa bajagia, sebuah rindu telah terobati. Tapi di sisi lain ia tidak yakin jika gadis hujannya mengingat mereka pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan yang menyisakan rasa rindu di hati Ali.

Siang ini Ali ada janji dengan clientnya yang bernama tuan John ia ditemani Prilly hari ini. Mereka menunggu di sebuah restoran, namun tuan John belum juga datang. Mereka merasa jenuh setelah menunggu begitu lama.

"Tuan Ali." panggil Prilly lembut.

"Ya nona Jen."

"Saya permisi ke belakang sebentar."

"Baiklah nona Jen, jangan lama-lama."

Ali mengaduk-aduk jus alpukat yang sudah ia pesan sejak tadi. Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya hingga berhasil mengagetkan Ali.

"Alan? Kau Alan kan?" tanya Ali ragu.

"Iya ini aku Alan. Omong-omong sedang apa kau disini Li?"

"Aku sedang menunggu clientku. Kau sendiri?"

"Aku juga sedang mencari partner kerjaku. Dia bilang meja nomor 7 dan ini meja nomor 7 aku malah ketemu kau."

"Tunggu...tunggu.... Kau kenal dengan tuan John?"

"Tuan John? Ya, ya itu namaku sebagai pebisnis, kau tau sendiri kan namaku Alan Robert John. Tunggu darimana kau tau nama bisnisku? Jangan bilang?"

"Astaga Alan, ternyata kau clientku."

"Jadi Maghali Hendra Ardian itu kau? Astaga...." belum sempat Alan melanjutkan ucapannya seorang gadis sudah duduk manis di samping Ali. "Prilly?"

"Alan?" mereka berdua sama-sama tercengang. "Sedang apa kau disini?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Kalau aku ya jelas menmui partner kerjaku, sedangkan kau...?"

"Aku sekretaris tuan Ali."

"Tunggu... Tunggu kalian...."

"Iya tuan Ali, Alan itu pacar saya."

"Iya benar Li. Ternyata dunia sempit sekali ya."

Baru saja sedetik yang lalu Ali merasa rindunya telah terobati, tetapi detik ini ia merasa harapannya telah pupus. Aish kenapa dia jadi begini? Saat orang yang selalu mengusik pikirannya sudah punya yang lain dan ia merasa sakit. Apa itu cinta? Entahlah, ia sendiri pun tak tau.

***

Sore itu Prilly pergi ke sebuah restoran untuk menemui Alan. Sebulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan dan hari ini mereka akan membicarakan semuanya. Prilly keluar dari taksi blue bird yang sedari tadi ditumpanginya. Setelah membayar, Prilly melangkahkan kaki mungilnya menuju restoran. Perlahan ia berjalan menuju sebuah meja, ia ingin memastikan ia salah lihat atau tidak. Dan ternyata itu benar, ia tak salah lihat, kini dirasanya kakinya lemas tak lagi mau melangkah.

"Alan... Dia siapa?" tanya Prilly dengan suara gemetar menahan tangis.

"Kenalkan Ly namanya Sisi dia pacar aku." Alan tersenyum manis.

"Apa... Pa...pa-car? Kamu selingkuh dari aku padahal sebulan lagi kita mau nikah? Gitu?" setetes air mata sudah jatuh dari sudut mata Prilly.

"Tidak aku tidak selingkuh, karena mulai detik ini kita putus, jadi aku nggak nyelingkuhin kamu dan pacar aku cuma Sisi."

Plakk. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Alan. "Kau jahat Alan, jahat." Prilly berlari keluar dari restoran itu, sepertinya ia terlalu cepat berlari sampai ia tak sadar ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Dalam waktu yang super singkat ada sebuah tangan yang menarik Prilly, hingga ia tak tertabrak mobil itu.

"Kenapa kau menyelamatkan aku? Kenapa tak biarkan aku mati saja ditabrak mobil itu? Kenapa tuan Ali? Kenapa?"

"Kau kenapa nona Jen? Kau bukan sepeti nona Jen yang aku kenal, yang ceria, penuh semangat, dan tak pernah kehilangan harapan, tapi...."

Belum sempat Ali menlanjutkan ucapannya Prilly sudah memeluknya erat dan menumpahkan semua air matanya di dada bidang Ali. Seketika Ali mematung, jantungnya berdegup sangat kencang. Aishh kenapa mesti berdegup kencang seperti itu, bagaimana jika gadis yang memeluknya itu tau? Setelah tersadar Prilly pun melepas pelukannya pada Ali.

"Eh.. Umm.. Maaf...maaf tuan Ali." ucapnya menahan malu sembari menghapus air matanya.

"Tidak apa-apa nona Jen, satu lagi bisa kau panggil aku Ali 'saja' tanpa embel-embel 'tuan'?"

"Tapi bukankah itu tidak sopan, kau bosku tuan Ali."

"Baiklah aku memang bosmu di kantor, tapi di luar kantor bolehkah aku jadi temanmu? Jika boleh panggilah aku Ali."

"Baiklah kita berteman, kalau begitu kau juga, berhentie memanggilku nona Jen panggil saja aku Prilly.

"Baiklah Prilly jadi mulai sekarang kita teman."

"Teman." mereka bersalaman tanda pertemanan.

Prilly pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Ali. Ternyata Ali pendengar yang baik menurut Prilly dia beda sekali dengan Alan. Aish tak usahlah membandingkan. Akhirnya Ali mengantarkan Prilly pulang setelah ia selesai bercerita.

Beberapa bulan ini Prilly sudah lost contact dengan Alan dan dia makin dekat dengan Ali. Diam-diam Prilly mulai merasakan sebuah getaran hebat di dalam hatinya saat ia bersama Ali. Ali yang selalu perhatian dan memperhatikan setiap detail yang ia lakukan, membuat Prilly terpana. Sikap Ali yang membuatnya nyaman, dan juga sikap yang tak pernah dimiliki oleh Alan.

Hari ini Ali dibantu oleh Prilly akan menangani clientnya. Ya, Alan is back. Mereka bekerjasama untuk membangun sebuah restoran. Dan hari ini mereka akan meninjau lokasi restoran tersebut. Alan keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Sisi. Mereka bergandengan mesra, dan hati Prilly kembali teriris melihat hal itu. Ali yang pandai membaca situasi langsung menggenggam tangan Prilly dengan mantap. Prilly pun tersenyum ke arah Ali dan mereka mulai masuk ke bangunan itu.

Untuk beberapa hari ini memang mereka meninjau lokasi dengan sangat serius. Mereka ingin restoran bernuansa Indonesia itu segera bisa dibuka. Segala sesuatunya sudah mulai dikerjakan oleh para pegawai hari ini.

Ali dan Prilly sedang duduk di sofa sambil mengamati desain interior yang digunakan. Tiba-tiba saja Prilly merasa sangat mengantuk sampai ia tertidur. Ali yang kasihan melihat Prilly kelelahan akhirnya memberikan bahunya untuk Prilly bersandar. Saat itu Alan dan Sisi sedang bergandengan mesra melewati Ali dan Prilly.

"Cih, laki-laki macam apa dia, tega menyia-nyiakan perempuan demi mencari yang lebih sempurna. Memangnya ada manusia sempurna di dunia? Tidak. Dia salah besar udah ninghalin Prilly, aku yakin suatu saat dia bakal nyesel. Tuhan seandainya aku ada di posisi Alan yang dicintai Prilly, maka aku akan selalu menjaganya dan tak akan pernah menyia-nyiakannya." ucap Ali dalam hati.

Tidak tau kenapa rasanya makin kesini Alan makin tak rela ada tangan lain yang menggenggam tangan Prilly. Ada mata lain tang selalu memandangi wajah cantiknya. Ada tawa lain yang selalu beradu dengan tawa renyahnya. Apakah ia cemburu? Bukankah ia sudah memiliki Sisi? Apakah ia masih cinta Prilly? Prertanyaan-pertanyaan itu mulai mengepung otak Alan.

Semakin lama genggaman tangan Sisi, tatapan matanya, perhatiannya, senyumannya, pelukannya, dan semua yang ada pada Sisi membuat Alan merasa bosan. Ia tau sekarang. Ia sangat merindukan Prillynya. Ia ingin genggaman tangan itu lagi, tatapan mata itu lagi, dan semua yang ada pada Prilly. Alan pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Prilly.

To : Jenifer Prillyanz

Bisa temui aku jam 3 di taman?

From : Jenufer Prillyanz

Baik.

Tidak biasanya Prilly menolak tawaran Ali untuk pulang bersama hari ini. Padahal kan sekarang suasana sedang gerimis seperti ini. Dan yang terpenting adalah Ali ingin mengungkapkan perasaanya hari ini. Tapi apa boleh buat Prilly tak mau pulang bersamanya, karena khawatir akan keadaan Prilly, Ali beregas mengikutinya. Sekedar memastikan ia sampai rumah dengan selamat.

"Taman? Ngapain dia ke taman?" gumam Ali yang memperhatikan Prilly dari jauh.

***

"Hai Ly! Udah lama?" tanya Alan sembari duduk di sampingnya.

"Belum kok. Ada apa?" tanya Prilly datar.

"Aku minta maaf ya Ly."

"Aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf."

"Kalau gitu kita balikan ya Ly."

"Maksud kamu?"

"Ya kita balikan, pacaran lagi kaya dulu kamu mau kan?" Alan duduk berhadapan dengan Prilly dan menggenggam tangan Prilly erat.

"Tapi kau sudah bersama Sisi, Alan."

"Aku bisa putusin dia gampang kan?"

"Alan, cewek itu manusia mereka punya hati. Mereka bukan gadget yang sealu ditinggal jika ada yang lebih canggih dan lebih menarik. Mereka punya hati Alan."

"Tapi aku sayang kamu Ly."

"Aku enggak."

"Bohong! Aku tau kamu belum move on dari aku, jadi kita balikan ya Ly."

"Alan dnger ya, aku emang belum move on dari kamu,tapi aku juga nggak bloon buat balik lagi sama kamu dan kamu sakiti aku lagi. Aku nggak mau."

Tanpa aba-aba Alan langsung memeluk Prlly dengan erat. "Pelase Ly." Prilly tercengang dengan perlakuan Alan. Ia memang tak bisa berbohong jantungnya berdegup kencang saat ini. Tapi saat ia mematung di pelukan Alan, ia melihat sebuah punggung yang makin menjauh, dan entah kenapa ia takut orang itu akan pergi. Dengan sigap Prilly melepas pelukan Alan. "Lepas. Aku nggak mau balikan sama kamu. Cari aja cewek yang mau kamu sakitin dan sia-siain." bentak Prilly sebelum berlari meninggalkan Alan.

Dibawah guyuran gerimis itu Prilly berlari mengejar seseorang yang ia lihat di taman tadi. Nafasnya mulai tersengal, tapi ia tak boleh berhenti disini, ia harus menemukan orang itu. "Ali.... Tunggu Li..." panggilnya yang sukses membuat seseorang di depannya berhenti berlari. Ali mematung dan masih membelakangi Prilly. Tanpa kta Prilly langsung memeluk Ali dari belekang. "Jangan pergi."

Ali melepas pelukan tangan Prilly dan menghadapkan tubuhnya menghadap Prilly. "Kenapa aku tidak boleh pergi,  kalau kau sudah menetap disini bersama orang lain?"

"Tidak Li....."

"Aku tau semuanya Ly, aku cuma mau bilang aku sayang sama kamu, cinta sama kamu, maaf untuk hal itu. Semoga kau bahagia." Ali mengecup puncak kepala Prilly. "Pergilah."

Saat Ali mulai berjalan lagi Prilly dengan sigap menahan tangan Ali. "Li dulu Alan pernah nyakitin aku dan kamu tau rasanya? Rasanya kaya mau mati. Aku nggak mau hal itu terulang lagi dan menyakiti lelaki sebaik kamu. Aku juga cinta kamu Li, aku sayang kamu. Jadi jangan suruh aku untuk pergi."

"Jenifer Prillyanz, kamu yang aku cari selama ini, seorang gadis yang temui di bawah gerimis. Di tepi jalan dengan parsel yang berserakan, aku tidak menyangka pertemuan itu meyisakan sebuah rasa di hatiku. Meski waktu itu aku hanya mengenalmu sebagai gadis hujan, tapi percayalah setiap hari aku selalu merindukanmu."

"Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku, mengisi kekosongan hatiku seperti hujan mengisi danau yang kering?"

"Maghali Hendra Ardian. Aku bersedia menjadi gadis hujanmu, yang dengan setia akan mengisi setiap danau kering di hatimu, karena aku mencintaimu.

Mereka bertemu saat gerimis dan gerimis pula yang telah menyatukan mereka. Kini tidak ada kata 'pergilah' untuk mengusir cinta yang sejatinya mulai tumbuh semenjak pertemuan dalam gerimis. Yang ada sekarang hanyalah. 'Marilah pergi bersamaku, melewati gerimis dan hujan badai, saling mengeratkan genggaman menuju sebuah jalan, masa depan'.

---THE END---

Leave vote and comment ya
Thankiss for reading
See you next story
*Zeetata*