Sabtu, 07 Maret 2015

Gadis Hujan

~Gadis Hujan~
Author : Anita Noviyanti | Zeetata

*___*

Seorang gadis bertubuh mungil berjalan cepat di bawah guyuran gerimis. Hillsnya yang berhak 7 senti itu membuatnya susah berjalan hingga akhirnya ia terjatuh di tepian jalan. Parsel yang ia bawa akhirnya berantakan kemana-mana. Pemuda tampan yang baru saja turun dari mobil melihat peristiwa itu. Dengan sigap ia membantu gadis mungil yang tengah memunguti parselnya.

"Terimakasih." ucapnya dengan senyum termanis yang ia punya.

"Sama-sama." Gadis itu mulai melangkah meninggalkan sang pemuda. "Hai tunggu!" ucapan sang pemuda membuat gadis itu berhenti dan membalikkan badannya. "Ini." pemuda tampan itu memberikan payung yang berada di tangannya kepada sang gadis. "Jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit."

"Sekali lagi terimakasih." ujar gadis itu sembari menerima payung dan mulai berjalan menjauh.

Maghali Hendra Ardian, orang-orang biasa memanggilnya Ali. Pemuda itu kembali teringat pada pertemuannya dengan seorang gadis yang mampu menarik rasa penasarannya. Ia gelisah setiap hari memikirkan gadis itu. Mata beriris coklatnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, rambut panjangnya, kulit putihnya, tubuh mungilnya. Astaga kenapa ia sangat merindukan gadis itu? Lagipula ini salahnya sendiri bukan? Kemarin tidak sempat menanyakan siapa namanya. Akhirnya dengan seenaknya ia memanggil nama gadis itu adalah 'gadis hujan'.

1 bulan telah berlalu, namun gadis itu masih memenuhi pikiran Ali. Walaupun sampai detik ini ia tak pernah lagi bertemu dengan gadis itu. Mungkin ini sudah saatnya ia melupakan gadis itu, karena besok ia akan dipindahtugaskan ke Bandung. Itu sama artinya dengan 'ia tak akan pernah menemukan lagi gadis mungil beriris coklat yang selalu mengusik pikirannya sampai saat ini'.

Kini ia sudah mulai bekerja di Bandung, disana ia menghabiskan waktunya untuk bekerja... Bekerja... Dan bekerja. Hanya itu yang mampu mengalihkan perhatiannya dari gadis hujannya. Hari ini ia akan memiliki sekretaris baru untuk membantu tugas-tugasnya. Rasanya malas sekali akan memiliki sekretaris, seperti tidak bebas. Tok...tok...tok...

"Masuk." perintahnya.

Seorang gadis dengan rambut tergerai rapi memakai kemeja krem dengan perpaduan rok span hitam selutut, sepatu kantor berwarna hitam dan tas tangan dengan warna senada memasuki ruangan Ali. Mata Ali tak berkedip untuk beberapa saat, tenggorokannya mendadak kering, dan jantungnya serasa ingin melompat dari tempatnya. Hingga akhirnya ia tersadar saat gadis itu sudah duduk di hadapannya.

"Namamu Jenifer Prillyanz?"

"Iya tuan Ali."

"Baiklah nona Jen, kita bisa mulai bekerja sama sekarang." ujarnya penuh wibawa.

Ternyata gadis itu yang memenuhi pikiran Ali beberapa bulan ini. Ya Jenifer Prillyanz itulah nama gadis hujannya. Di sudut hatinya ia merasa bajagia, sebuah rindu telah terobati. Tapi di sisi lain ia tidak yakin jika gadis hujannya mengingat mereka pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan yang menyisakan rasa rindu di hati Ali.

Siang ini Ali ada janji dengan clientnya yang bernama tuan John ia ditemani Prilly hari ini. Mereka menunggu di sebuah restoran, namun tuan John belum juga datang. Mereka merasa jenuh setelah menunggu begitu lama.

"Tuan Ali." panggil Prilly lembut.

"Ya nona Jen."

"Saya permisi ke belakang sebentar."

"Baiklah nona Jen, jangan lama-lama."

Ali mengaduk-aduk jus alpukat yang sudah ia pesan sejak tadi. Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundaknya hingga berhasil mengagetkan Ali.

"Alan? Kau Alan kan?" tanya Ali ragu.

"Iya ini aku Alan. Omong-omong sedang apa kau disini Li?"

"Aku sedang menunggu clientku. Kau sendiri?"

"Aku juga sedang mencari partner kerjaku. Dia bilang meja nomor 7 dan ini meja nomor 7 aku malah ketemu kau."

"Tunggu...tunggu.... Kau kenal dengan tuan John?"

"Tuan John? Ya, ya itu namaku sebagai pebisnis, kau tau sendiri kan namaku Alan Robert John. Tunggu darimana kau tau nama bisnisku? Jangan bilang?"

"Astaga Alan, ternyata kau clientku."

"Jadi Maghali Hendra Ardian itu kau? Astaga...." belum sempat Alan melanjutkan ucapannya seorang gadis sudah duduk manis di samping Ali. "Prilly?"

"Alan?" mereka berdua sama-sama tercengang. "Sedang apa kau disini?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Kalau aku ya jelas menmui partner kerjaku, sedangkan kau...?"

"Aku sekretaris tuan Ali."

"Tunggu... Tunggu kalian...."

"Iya tuan Ali, Alan itu pacar saya."

"Iya benar Li. Ternyata dunia sempit sekali ya."

Baru saja sedetik yang lalu Ali merasa rindunya telah terobati, tetapi detik ini ia merasa harapannya telah pupus. Aish kenapa dia jadi begini? Saat orang yang selalu mengusik pikirannya sudah punya yang lain dan ia merasa sakit. Apa itu cinta? Entahlah, ia sendiri pun tak tau.

***

Sore itu Prilly pergi ke sebuah restoran untuk menemui Alan. Sebulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan dan hari ini mereka akan membicarakan semuanya. Prilly keluar dari taksi blue bird yang sedari tadi ditumpanginya. Setelah membayar, Prilly melangkahkan kaki mungilnya menuju restoran. Perlahan ia berjalan menuju sebuah meja, ia ingin memastikan ia salah lihat atau tidak. Dan ternyata itu benar, ia tak salah lihat, kini dirasanya kakinya lemas tak lagi mau melangkah.

"Alan... Dia siapa?" tanya Prilly dengan suara gemetar menahan tangis.

"Kenalkan Ly namanya Sisi dia pacar aku." Alan tersenyum manis.

"Apa... Pa...pa-car? Kamu selingkuh dari aku padahal sebulan lagi kita mau nikah? Gitu?" setetes air mata sudah jatuh dari sudut mata Prilly.

"Tidak aku tidak selingkuh, karena mulai detik ini kita putus, jadi aku nggak nyelingkuhin kamu dan pacar aku cuma Sisi."

Plakk. Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Alan. "Kau jahat Alan, jahat." Prilly berlari keluar dari restoran itu, sepertinya ia terlalu cepat berlari sampai ia tak sadar ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Dalam waktu yang super singkat ada sebuah tangan yang menarik Prilly, hingga ia tak tertabrak mobil itu.

"Kenapa kau menyelamatkan aku? Kenapa tak biarkan aku mati saja ditabrak mobil itu? Kenapa tuan Ali? Kenapa?"

"Kau kenapa nona Jen? Kau bukan sepeti nona Jen yang aku kenal, yang ceria, penuh semangat, dan tak pernah kehilangan harapan, tapi...."

Belum sempat Ali menlanjutkan ucapannya Prilly sudah memeluknya erat dan menumpahkan semua air matanya di dada bidang Ali. Seketika Ali mematung, jantungnya berdegup sangat kencang. Aishh kenapa mesti berdegup kencang seperti itu, bagaimana jika gadis yang memeluknya itu tau? Setelah tersadar Prilly pun melepas pelukannya pada Ali.

"Eh.. Umm.. Maaf...maaf tuan Ali." ucapnya menahan malu sembari menghapus air matanya.

"Tidak apa-apa nona Jen, satu lagi bisa kau panggil aku Ali 'saja' tanpa embel-embel 'tuan'?"

"Tapi bukankah itu tidak sopan, kau bosku tuan Ali."

"Baiklah aku memang bosmu di kantor, tapi di luar kantor bolehkah aku jadi temanmu? Jika boleh panggilah aku Ali."

"Baiklah kita berteman, kalau begitu kau juga, berhentie memanggilku nona Jen panggil saja aku Prilly.

"Baiklah Prilly jadi mulai sekarang kita teman."

"Teman." mereka bersalaman tanda pertemanan.

Prilly pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Ali. Ternyata Ali pendengar yang baik menurut Prilly dia beda sekali dengan Alan. Aish tak usahlah membandingkan. Akhirnya Ali mengantarkan Prilly pulang setelah ia selesai bercerita.

Beberapa bulan ini Prilly sudah lost contact dengan Alan dan dia makin dekat dengan Ali. Diam-diam Prilly mulai merasakan sebuah getaran hebat di dalam hatinya saat ia bersama Ali. Ali yang selalu perhatian dan memperhatikan setiap detail yang ia lakukan, membuat Prilly terpana. Sikap Ali yang membuatnya nyaman, dan juga sikap yang tak pernah dimiliki oleh Alan.

Hari ini Ali dibantu oleh Prilly akan menangani clientnya. Ya, Alan is back. Mereka bekerjasama untuk membangun sebuah restoran. Dan hari ini mereka akan meninjau lokasi restoran tersebut. Alan keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Sisi. Mereka bergandengan mesra, dan hati Prilly kembali teriris melihat hal itu. Ali yang pandai membaca situasi langsung menggenggam tangan Prilly dengan mantap. Prilly pun tersenyum ke arah Ali dan mereka mulai masuk ke bangunan itu.

Untuk beberapa hari ini memang mereka meninjau lokasi dengan sangat serius. Mereka ingin restoran bernuansa Indonesia itu segera bisa dibuka. Segala sesuatunya sudah mulai dikerjakan oleh para pegawai hari ini.

Ali dan Prilly sedang duduk di sofa sambil mengamati desain interior yang digunakan. Tiba-tiba saja Prilly merasa sangat mengantuk sampai ia tertidur. Ali yang kasihan melihat Prilly kelelahan akhirnya memberikan bahunya untuk Prilly bersandar. Saat itu Alan dan Sisi sedang bergandengan mesra melewati Ali dan Prilly.

"Cih, laki-laki macam apa dia, tega menyia-nyiakan perempuan demi mencari yang lebih sempurna. Memangnya ada manusia sempurna di dunia? Tidak. Dia salah besar udah ninghalin Prilly, aku yakin suatu saat dia bakal nyesel. Tuhan seandainya aku ada di posisi Alan yang dicintai Prilly, maka aku akan selalu menjaganya dan tak akan pernah menyia-nyiakannya." ucap Ali dalam hati.

Tidak tau kenapa rasanya makin kesini Alan makin tak rela ada tangan lain yang menggenggam tangan Prilly. Ada mata lain tang selalu memandangi wajah cantiknya. Ada tawa lain yang selalu beradu dengan tawa renyahnya. Apakah ia cemburu? Bukankah ia sudah memiliki Sisi? Apakah ia masih cinta Prilly? Prertanyaan-pertanyaan itu mulai mengepung otak Alan.

Semakin lama genggaman tangan Sisi, tatapan matanya, perhatiannya, senyumannya, pelukannya, dan semua yang ada pada Sisi membuat Alan merasa bosan. Ia tau sekarang. Ia sangat merindukan Prillynya. Ia ingin genggaman tangan itu lagi, tatapan mata itu lagi, dan semua yang ada pada Prilly. Alan pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Prilly.

To : Jenifer Prillyanz

Bisa temui aku jam 3 di taman?

From : Jenufer Prillyanz

Baik.

Tidak biasanya Prilly menolak tawaran Ali untuk pulang bersama hari ini. Padahal kan sekarang suasana sedang gerimis seperti ini. Dan yang terpenting adalah Ali ingin mengungkapkan perasaanya hari ini. Tapi apa boleh buat Prilly tak mau pulang bersamanya, karena khawatir akan keadaan Prilly, Ali beregas mengikutinya. Sekedar memastikan ia sampai rumah dengan selamat.

"Taman? Ngapain dia ke taman?" gumam Ali yang memperhatikan Prilly dari jauh.

***

"Hai Ly! Udah lama?" tanya Alan sembari duduk di sampingnya.

"Belum kok. Ada apa?" tanya Prilly datar.

"Aku minta maaf ya Ly."

"Aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf."

"Kalau gitu kita balikan ya Ly."

"Maksud kamu?"

"Ya kita balikan, pacaran lagi kaya dulu kamu mau kan?" Alan duduk berhadapan dengan Prilly dan menggenggam tangan Prilly erat.

"Tapi kau sudah bersama Sisi, Alan."

"Aku bisa putusin dia gampang kan?"

"Alan, cewek itu manusia mereka punya hati. Mereka bukan gadget yang sealu ditinggal jika ada yang lebih canggih dan lebih menarik. Mereka punya hati Alan."

"Tapi aku sayang kamu Ly."

"Aku enggak."

"Bohong! Aku tau kamu belum move on dari aku, jadi kita balikan ya Ly."

"Alan dnger ya, aku emang belum move on dari kamu,tapi aku juga nggak bloon buat balik lagi sama kamu dan kamu sakiti aku lagi. Aku nggak mau."

Tanpa aba-aba Alan langsung memeluk Prlly dengan erat. "Pelase Ly." Prilly tercengang dengan perlakuan Alan. Ia memang tak bisa berbohong jantungnya berdegup kencang saat ini. Tapi saat ia mematung di pelukan Alan, ia melihat sebuah punggung yang makin menjauh, dan entah kenapa ia takut orang itu akan pergi. Dengan sigap Prilly melepas pelukan Alan. "Lepas. Aku nggak mau balikan sama kamu. Cari aja cewek yang mau kamu sakitin dan sia-siain." bentak Prilly sebelum berlari meninggalkan Alan.

Dibawah guyuran gerimis itu Prilly berlari mengejar seseorang yang ia lihat di taman tadi. Nafasnya mulai tersengal, tapi ia tak boleh berhenti disini, ia harus menemukan orang itu. "Ali.... Tunggu Li..." panggilnya yang sukses membuat seseorang di depannya berhenti berlari. Ali mematung dan masih membelakangi Prilly. Tanpa kta Prilly langsung memeluk Ali dari belekang. "Jangan pergi."

Ali melepas pelukan tangan Prilly dan menghadapkan tubuhnya menghadap Prilly. "Kenapa aku tidak boleh pergi,  kalau kau sudah menetap disini bersama orang lain?"

"Tidak Li....."

"Aku tau semuanya Ly, aku cuma mau bilang aku sayang sama kamu, cinta sama kamu, maaf untuk hal itu. Semoga kau bahagia." Ali mengecup puncak kepala Prilly. "Pergilah."

Saat Ali mulai berjalan lagi Prilly dengan sigap menahan tangan Ali. "Li dulu Alan pernah nyakitin aku dan kamu tau rasanya? Rasanya kaya mau mati. Aku nggak mau hal itu terulang lagi dan menyakiti lelaki sebaik kamu. Aku juga cinta kamu Li, aku sayang kamu. Jadi jangan suruh aku untuk pergi."

"Jenifer Prillyanz, kamu yang aku cari selama ini, seorang gadis yang temui di bawah gerimis. Di tepi jalan dengan parsel yang berserakan, aku tidak menyangka pertemuan itu meyisakan sebuah rasa di hatiku. Meski waktu itu aku hanya mengenalmu sebagai gadis hujan, tapi percayalah setiap hari aku selalu merindukanmu."

"Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku, mengisi kekosongan hatiku seperti hujan mengisi danau yang kering?"

"Maghali Hendra Ardian. Aku bersedia menjadi gadis hujanmu, yang dengan setia akan mengisi setiap danau kering di hatimu, karena aku mencintaimu.

Mereka bertemu saat gerimis dan gerimis pula yang telah menyatukan mereka. Kini tidak ada kata 'pergilah' untuk mengusir cinta yang sejatinya mulai tumbuh semenjak pertemuan dalam gerimis. Yang ada sekarang hanyalah. 'Marilah pergi bersamaku, melewati gerimis dan hujan badai, saling mengeratkan genggaman menuju sebuah jalan, masa depan'.

---THE END---

Leave vote and comment ya
Thankiss for reading
See you next story
*Zeetata*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar