Laki-laki bertubuh atletis itu menyandarkan bandannya diantara pintu balkon kamarnya. Ia menerawang kosong ke arah langit. Wajah sayu berpadu dengan bibir pucatnya membuatnya terlihat seperti mayat hidup, namun ia masih terlihat tampan. Tes.... Setitik merah jatuh tepat di punggung tangannya. Astaga, darah lagi. Kenapa darah begitu menganggunya, apapun yang ia lakukan apapun yang ia pikirkan selalu saja ada darah dari hidungnya.
Tiba-tiba alarm jam tangannya berbunyi. Yup, waktunya minum obat. Astaga! Ia bahkan baru ingat 2 tahun terakhir ia selalu bergantung pada butiran benda itu. Obat. Ia menenggak obatnya, walaupun terkadang ada rasa kesal disana. Apa mungkin obat-obatan itu yang akan menemaninya sampai akhir hidupnya nanti? Dia duduk di ujung ranjang setelah meminum obatnya. Kriiiinngg.... Astaga! Berisik sekali suara telfon di kamarnya itu. Dengan kasar ia mengangkat gagang telfon.
"Hallo!" ujarnya dengan malas.
"Hallo mas Digo Arthanama?"
"Iya saya sendiri."
"Maaf mas, kami dari pihak rumah sakit sekedar ingin mengingatkan hari ini mas Digo harus menjalani kemoterapi kedua."
"Hah, baiklah suster saya segera kesana."
Ia meraih jaket hitam yang tergantung di belakang pintu. Merogoh sakunya dan yup kunci mobil, ia segera menuju rumah sakit. Leukimia, penyakit terkutuk itu menghantui hidupnya selama 2 tahun belakangan ini. Kenapa Tuhan senang sekali menyiksanya? Bukankah lebih baik jika ia mati karena kecelakaan dan tidak perlu menahan sakit yang demikian?
Dia sampai di rumah sakit dan menemui seorang dokter. Dokter itupun segera membawanya ke ruangan dimana ia akan menjalani kemoterapi keduanya. Semua alat kini sudah terpasang di tubuhnya yang sudah terbaring di atas brangkar. Dokterpun meninggalkannya di ruang itu. Sakit? Ya kata orang kemoterapi itu sakit, tapi seorang Digo bahkan sudah lupa dengan srsuatu yang bernama 'sakit' itu. Sebenarnya hidup atau mati baginya tidak masalah. Toh dia hanya sebatang kara di dunia ini, tapi entah mengapa ada sebuah keinginan yang memaksanya untuk hidup setidaknya 1 jam lebih lama dari ketentuan Tuhan.
"Hai!" sapa suara lembut seorang gadis yang juga terbaring lemah dengan alat-alat yang terpasang pada tubuhnya. Digo hanya diam memperhatikan gadis itu. "Apa dia juga melakukan kemoterapi? Tapi kenapa dia malah tersenyum seperti itu seperti terlihat bahagia?"
"Kenalin namaku Sisi Merlina. Siapa namamu?"
"Digo Arthanama." Astaga! Kenapa ia malah mau bicara dengan gadis itu? Entahlah gadis itu seperti magnet yang menarik mulutnya untuk bicara padanya.
"Aku terkena leukimia dan ini kemoterapi pertamaku. Kalau kau?"
"Ya, leukimia, kemo kedua." jawabnya dingin.
"Kau sudah dua kali melakukan kemo, bagimana rasanya?" tanya Sisi antusias.
"Kau rasakan saja sendiri."
Kemoterapi itu selesai. Digo berjalan meninggalkan rumah sakit dengan langkah terhuyung. Ia selalu merasa ia kuat dan tak butuh bantuan siapapun, tapi kali ini berbeda. Bruuk... Tiba-tiba saja langkah kakinya tak teratur dan dia terjatuh di lantai. "Sial, kenapa mesti jatuh segala." rutuknya dalam hati.
"Hai, kau tidak apa-apa Digo?" ucap seorang gadis yang duduk di kursi roda. "Dia lagi." batin Digo. "Digo, kenapa kau diam? Kau kenapa?"
"Tidak." ujarnya sambil mencoba berdiri dengan bersusah payah.
"Kenapa kau memaksa jalan seperti itu, kau masih lemah Digo. Dimana keluargamu?"
"Keluarga? Siapa yang dia sebut keluarga? Memangnya dia pikir aku punya keluarga?" batinnya. "Digo! Hei!" Sisi melambaikan tangan di depan wajah Digo. "Ada apa?" tanyanya datar.
"Dimana keluargamu?"
"Kau sendiri?" ia malah bertanya balik pada Sisi.
"Ibu dan ayahku sedang berbincang dengan dokter."
"Oh."
"Digo kau belum menjawab pertanyaanku."
"Apa?"
"Dimana keluargamu?"
"Tidak tau."
"Ini serius Digo."
"Aku juga serius Sisi."
"Jadi...."
"Aku tidak punya keluarga."
"Kalau begitu bagaimana jika kita berteman?"
"Teman?"
"Iya berteman."
"Baiklah." Sisi mengulurkan tangannya. "Apa?"
"Tanda pertemanan." mereka berjabat tangan.
Semenjak pertemuannya dengan Sisi, Digo seperti memiliki harapan baru. Gadis itu, gadis mungil dengan hiasan tawa meski ia terluka. Gadis itu seperti seorang malaikat yang menyadarkannya, leukimia bukanlah hal mengerikan yang akan menghancurkan harapannya. Leukimia hanyalah kado dari Tuhan, karena Tuhan tau mereka kuat menjalani hidup bersama leukimia.
Hari ini ia kembali akan menjalani kemoterapi. Kemo ketiga untuknya berarti kemo kedua untuk Sisi. Terjadwalkan ada enam kemoterapi yang harus ia dan Sisi jalani. Kebetulan jadwal kemoterapi mereka memang bersamaan dan juga di ruangan yang sama.
"Digo... Hai Digo..." panggil Sisi setengah berbisik saat mereka sama-sama menjalani kemoterapi. Digo yang semula memejamkan matanya dengan berat hati membukanya, karena suara berisik gadis di brangkar sebelah. Digo hanya menatap tajam ke arah Sisi. "Digo, bagaimana jika kita berlomba." Mendengar perkataan Sisi, Digo hanya menautkan kedua alisnya. "Iya kita berlomba, siapapun yang bertahan lebih lama di dunia ini, dia pemenangnya."
"Ah apa-apaan kau ini. Kematian kita sudah tertulis di buku catatan malaikat, lalu untuk apa kita berlomba? Ha? Kau pikir sekuat apa dirimu itu? Bertahan sekuat apapun jika Tuhan menginginkan kau mati, kau juga akan tetap mati Sisi."
"Hai Digo. Ayolah, bangkit sedikit, kita sama-sama kena leukimia dan aku nggak mau kamu kehilangan harapan cuma karena hal ini. Jadi berjanjilah padaku kita akan melakukan perlombaan ini."
"Ah baiklah terserah kau saja."
Sisi. Gadis ini memang sangat keras kepala, tapi juga lembut. Entah kenapa Digo selalu menuruti keinginannya. Seperti ada sebuah hal yang mengharuskan Digo menuruti apa yang Sisi mau. Tapi ia tak pernah menemukan alasan apapun pada dirinya. Apa mungkin karena Sisi adalah orang pertama yang mengajaknya berteman setelah selama ini dunia selalu menjauhinya? Entahlah.
Semenjak kemoterapi ketiga, Digo dan Sisi menjadi sangat dekat. Digo pun mulai bisa tersenyum sekarang, kadang juga tertawa melihat kekonyolan gadis yang belakangan ini selalu ada bersamanya.
"Melihat kamu tertawa lepas seperti itu rasnya sama, dengan menghilangkan beban terberat dalam hidup aku. Kamu seperti medan magnet yang memaksaku untuk menarik senyum simpul pada bibirmu itu. Setelah ini, aku siap untuk semuanya, mati sekalipun. Karena aku sudah berhasil membuat seseorang tertawa karena aku, jika aku mati setelah ini, aku akan tersenyum, karena setidaknya aku pernah berguna untuk orang lain." batin Sisi saat ia dan Digo sedang menikmati sunset di sekitar taman.
"Aku belum pernah merasa senyaman ini di dekat siapapun. Hanya kamu, makhluk ciptaan Tuhan yang entah berasal dari belahan bumi bagian mana. Aku belajar banyak tentang hidup darimu, meskipun kamu lebih muda daripada aku. Aku juga baru mengerti tersenyum adalah cara paling sederhana untuk bahagia. Setidakmya senyuman kita berharga untuk orang lain, disaat kita tau kapanpun malaikat bisa menuntun kita kembali pada Tuhan." batin Digo sambil memperhatikan sunset.
"Digo..." panggil Sisi yang hanya di balas deheman oleh Digo. "Apakah kau pernah jatuh cinta?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tidak papa sih. Aku hanya ingin bertanya saja, apa kau pernah jatuh cinta?"
"Hmmm." Digo mengusap dagunya. "Belum. Memangnya kau pernah?"
"Belum juga sih." Sisi menyandarkan kepalanya pada pundak Digo. "Bagaimana ya rasanya jatuh cinta?"
"Mana aku tau Sisi, aku juga belum pernah merasakannya."
"Digo, apakah hidup kita akan berakhir tanpa mengenal sesuatu yang bernama 'jatuh cinta' itu yang orang-orang bilang itu indah?"
"Entahlah Sisi."
"Aku ingin merasakan jatuh cinta, memiliki pacar, melakukan hal-hal romantis seperti yang orang-orang normal lakukan."
"Ah, kau benar Sisi. Aku juga menginginkan itu, paling tidak aku pernah mengenal cinta sebelum aku mati."
"Digo bagaimana jika...."
"Apa?"
"Bagaimana jika kita pura-pura saling jatuh cinta, pura-pura berpacaran, dan pura-pura melalukan hal romantis."
"Kita?"
"Iya kita."
"Tapi Si...."
"Ayolah Digo, bukankah keinginan kita sama?"
"Tapi sampai kapan kita melakukan ini?"
"Emm.." Sisi mengusap dagunya, berpikir. "Sampai kita lupa kalau kita sedang berpura-pura."
Semburat cahaya mentari menyeruak masuk melewati horden kamar Digo. Nyayian burung-burung pembakit tidurpun sudah sangat merdu. Aroma pagi yang nikmat. Namun Digo masih membungkus dirinya dengan selimut. Tiba-tiba ponselnya berdering. Berisik! Ini hal yang paling tidak Digo sukai, apapun yang mengganggunya.
"Hallo!" ucapnya malas.
"Pagi pacar." sapa seseorang di ujung sana. "Hah? Pacar?!! Sejak kapan???!!" Astaga dia lupa, bukankah ia memang punya pacar? "Kamu pasti baru bangun ya? Mandi gih."
"Iya pacar ntar dulu, 5 menit deh nyawaku belum kumpul nih."
"Pacar memangnya kamu lupa apa hari ini kemo keempat kamu."
"Astaga pacar! Aku lupa, kalau gitu aku siap-suap dulu deh."
"Bye pacar. Love you."
"Love you too."
Okay sekarang mereka terlihat seperti tidak berpura-pura pacaran, tapi sudahlah. Mereka kembali harus berhadapan dengan ruangan kemoterapi. Ya, kadang mereka muntah-muntah dan juga mengalami gejala lain setelah kemo, tapi itulah mereka, tak mengeluh. Selama kemo Digo memilih memejamkan matanya, sedangkan Sisi ia sibuk memperhatikan wajah tampan Digo yang nampak dari samping.
"Digo! Apakah menurutmu Tuhan akan benar-benar memperkenalkan kita pada cinta?" ucap Sisi, namun gak ditanggapi oleh Digo.
Kemoterapi keempat bagi Digo telah usai. Setelah beberapa hari mereka istirahat dan merasa kuat, mereka mulai menjalani hari-hari mereka. Hari-hari berpura-pura jatuh cinta. Mereka bahkan jalan-jalan ke mall, belanja, nonton, sampai candle light dinnerpun mereka lakukan. Romantus bukan? Dan dari semua bagian itu orang-orang yang melihatnya tak akan pernah percaya jika mereka hanya berpura-pura.
Hari ini adalah kemoterapi kelima untuk Digo dan keempat untuk Sisi. Semua peralatan sudah siap, selang-selang telah dipasang ditubuhnya. Ia terbaring di atas brangkar. Ia menengok ke brangkar di sampingnya. Tidak ada! Dimana Digonya? Apa ia lupa bahwa ini adalah hari kemoterapi? Sisi mencoba menghubunginya, namun tak ada jawaban.
Beberapa lama kemudian akhirnya kemoterapi keempatnya selesai. Seperti biasa suster membantunya duduk di kursi roda. Orang tua Sisi menunggunya di luar ruang kemo. Tapi tetap masih ada yang mengganjal dihati dan pikirannya.
"Suster." panggil Sisi saat suster akan mendorong kursi rodanya.
"Iya, ada yang bisa saya bantu mbak Sisi?"
"Pasien yang sering kemo bareng saya dimana ya?"
"Maksud mbak Sisi, mas Digo?" tanya suster itu.
"Iya sus, Digo dimana? Apa dia lupa kalau hari ini kemo?"
"Mbak Sisi, mas Digo sudah meninggal seminggu yang lalu, mas Digo juga menitipkan ini pada mbak Sisi." suster itu memberikan sebuah amplop berwarna merah muda.
Tes.. Tanpa terasa air matanya mengucur deras. Kenapa ia menangis? Apakah ia merasa kehilangan Digo? Ya dia kehilangan Digo. Tapi ini rasa kehilangan yang lebih besar, lebih besar daripada kehilangan seorang teman. Entahlah! Ia merasa sangat sedih sekarang.
***
Ditemani ibunya, Sisi memasuki sebuah area pemakaman. Ia masih duduk di kursi roda, dan kini ia sudah berada di hadapan sebuah makam. Tanahnya masih merah, walau tak banyak bunga bertabur disana. Di bawah sana seseorang telah tertidur pulas untuk selamanya. Digo Arthanama. Sisi menaburkan bunga di atas makam yang masih baru itu.
Dear : Sisi Merlina
Si, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah tidak ada lagi. Mungkin setelah membaca surat ini kamu akan kecewa kepadaku. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Hari ini aku merasa sangat lelah Si, aku merasakan malaikat maut sangat dekat dengan tempatku berada saat ini. Dia sangat dekat, tapi percayalah aku tidak takut mati.
Si, kamu tau alasan kenapa aku tidak takut mati? Ya, aku sudah mengalami semuanya dalam hodup, bersama kamu. Aku pernah jatuh cinta Si. Jatuh cinta kepada seorang gadis yang membawa harapan baru untuk hidupku. Gadis sederhana yang mengajarkan banyak hal tentang hidup kepadaku. Gadis itu adalah kamu Si. Iya aku baru sadar sekarang, aku jatuh cinta padamu sebelum aku ingin, sebelum aku mengenal cinta. Karena cinta itu ada ketika kau menyapaku, menanyakan namaku, dan menjadikanku temanmu. Aku rasa disanalah cinta itu menyesap.
Si, inilah takdir. Aku harus pergi, dan kamu masih tetap disana. Jangan menangis Sisi sayang. Aku sudah bahagia disini, dan jika kamu menangis, maka aku akan ikut bersedih, jadi tersenyumlah untukku. Sisi, kini Tuhan telah memberikan jawaban pada perlombaan kita. Kita sama-sama menang Sisi sayang. Kamu memenangkan dunia dan aku menang melegakan rinduku untuk bertemu dengan Tuhan. Sisi, jaga diri baik-baik ya sayang, jangan pernah kehilangan harapan.
Dengan cinta tulus sepenuh hati
Digo Arthanama.
Sisi mengusap nisan Digo dengan lembut, lalu mengecupnya sejenak. Ia merasakan betul bahwa Digo masih disana, melihatnya yang duduk dinkursi roda.
"Digo... Tetimakasih pernah ada dalam kehidupanku. Menjadi bagian dari hati yang tak akan mungkin terlupakan. Kamu tau Digo? Sebenarnya aku tidak berpura-pura mencintaimu, aku benar-benar mencintaimu. Maaf aku tidak berani jujur padamu waktu itu, maka aku mengajukan permintaan berpura-pura jatuh cinta. Sangat konyol bukan? Tapi itulah, aku tidak bisa berpura-pura tidak mencintai kamu. Terimakasih untuk cintamu Digo, aku akan tetap mencintai kamu sampai Tuhan mempertemukan kita di kehidupan lain. Beristirahatlah dengan membawa kebahagiaan atas nama cinta kita dan disini aku juga akan melakukannya. Aku mencintai kamu Digo Arthanama."
---THE END---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar